KULINER khas Kota Semarang tak sebatas lunpia, bandeng
duri lunak atau wingko babat. Ada satu yang cukup melegenda berupa Nasi
Goreng Babat Pak Karmin di pinggir Kali Berok, kawasan Kota Lama
Semarang.
Bayangkan, nasi Goreng Babat Pak Karmin sudah ada
sejak tahun 1954. Dulu warung berupa tenda berada di Alun-alun Barat,
tepatnya di depan Masjid Besar Kauman (areal terminal Bemo). Baru
setelah era 1970-an pindah di pinggir Kali mBerok (samping jembatan)
hingga saat ini dan telah diwariskan ke generasi ketiga, Yanti. Meski
Pak Karmin telah meninggal tahun 1970-an namun olahan kulinernya sampai
saat ini melekat turun-temurun di hati penikmat kuliner.
Salah
satunya adalah Andi MH, warga Kampung Batik Gayam Semarang yang kini
menjadi pelanggan Nasi Goreng Babat Pak Karmin. "Saya kenal warung ini
sejak kecil dan diajak makan sama mbah kakung. Favorit saya babat dan
iso gongso", ungkap Andy MH.
Nasi Goreng Babat Pak Karmin
memang beda dengan nasi goreng lainnya. Rasanya mantab dan harganya
terjangkau untuk kalangan menengah ke bawah. Sedangkan yang diolah
sebagai untuk campuran nasi goreng selain babat, ada juga iso (usus),
paru, asren (linpa) dan jantung sapi. Selain disajikan nasi goreng,
jeroan sapi tersebut juga bisa diolah dengan digoreng gongso dengan
bumbu kecap dan sambal.
Nasi goreng maupun olahan gongso sangat nikmat disantap dengan telur dadar dan acar ketimun.
Cara menyajikannya pun cukup khas. Tidak langsung diletakkan pada piring, melainkan piring dilambari daun pisang.
Menurut Yanti, daun pisang yang dijadikan alas nasi goreng akan mampu
menampa kesedapan nasi goreng. Hal ini juga diakui Andy, yang tak pernah
melupakan mampir di warung Pak Karmin kendati sebulan sekali. Untuk
menikmati sepiring nasi goreng maupun gongso dengan segelas teh hangat
hanya Rp 20.000. (Chandra AN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar