Sabtu, 17 September 2011

Tradisi Pulung Langse, Andalan Warga Mengharap Berkah


SUKOHARJO (KRjogja.com) - Pergantian tahun seakan menjadi momen tepat bagi warga Sukoharjo untuk mengelar ritual. Ya, disaat orang lain tengah hinggar binggar dengan kemilau kembang api. Warga Sukoharjo justru larut dalam kesyuk doa saat mengelar tradisi Pulung Langse di Desa Mertan, Kecamatan Polokarto.

Selepas melewati sungai Ranjing yang jadi pemisah desa Balak dengan kompleks pemakaman Balak. Para pengunjung dibuat tercengang dengan banyaknya orang yang berdesak-desakan untuk berziarah kemakam Kyai Balak serta mengikuti tradisi Pulung Langse. Sampai di dalam bangunan pendopo atau di sebelah makam yang diyakini sebagai tempat peristirahatan terakhir Raden Sujono, rombongan duduk bersila dan memanjatkan berbagai doa, bernuansa Islam yang disuarakan beberapa peziarah di dalam pendopo. Beberapa perangkat ritual pun tersedia di meja-meja tempat itu seperti sesaji, kain putih dan sebagainya.

Selesai berdoa, rombongan keluar membawa sebuntal kain putih, gunungan yang berisi nasi dan serangkaian makanan lain. Masih di tengah kerumunan pengunjung, rombongan mengkirabkan beberapa perangkat itu mengitari makam.

"Pulung Langse adalah ritual mengganti langse atau kain selimut makam Kyai Balak dan peraga Raden Sujono yang diikutkan dalam kirab adalah sebentuk cara untuk kembali memfigurkan tokoh aslinya," ujar Kukuh Darmosaputro salah satu panitia saat memimpin acara.

Sosok Raden Sujono dikenal dan dikenang warga sebagai tokoh yang terus dipuja. Salah satu yang kini terus diingat dari sosok Raden Sujono yakni adanya kesadaran dari raden Sujono yang menyadari dirinya hanyalah keturunan raja dari selir. Dia memilih hidup di luar ingar bingar megahnya keraton dan mengabdikan dirinya di tengah warga. Konon, raden itu dikenal gemar mendermakan tenaganya untuk kepentingan rakyat jelata.

"Raden tersebut mengisyaratkan warga akan mendapat perlindungan atau tolak balak, baik secara kesehatan maupun rizki jika warga berkenan merawat sesame, termasuk terhadap dirinya," ujarnya.

Sampai saat ini, ajaran itu masih diyakini warga. Dan terbukti, simbolisasi gunungan yang diperebutkan warga saat kirab nyaris usai menjadi sebuah indikasi antusiasme warga terhadap petuah tokoh yang telah pergi ke alam baka itu.

"Biasanya paling ramai malam jumat kliwon atau suro seperti saat ini. Tak hanya orang sini saja yang datang tapi para perantau seperti orang dari jakarta, bandung sampai sumatera banyak yang kesini," ujar Bambang Suwarman juru Kunci makam Balakan.

Pria yang sudah 10 tahun lebih jadi juru kunci ini menceritakan banyaknya orang yang berziarah lebih disebabkan keyakinan mereka akan dia yang terkabul. Sebab tak sedikit dari mereka yang datang permintaanya akan terwujud setelag berziarah ke makam Balakan.

Terkait mengenai keyakinan doa yang akan terkabul setelah berziarah ke makam Balak. Bambang menyatakan kalau kejadian tersebut bermula ketika Balak yang dalam perantauan singgah disebuah desa mendapat wangsit untuk memelihara pundung (Rumah rayap-red).

"Dulu ada anak kecil yang sakit gatal-gatal tak sembuh-sembuh tapi setelah dioles-oleskan kepundung yang dipeliharan Balak ternyata sembuh dari situlah banyak warga yang tahu termasuk ketika Balak sudah meninggal," lanjutnya.

Percaya akan kemampuan Balak, wargapun sampai saat ini masih memelihara makam tersbeut. Termasuk membangunkan sebuah joglo untuk makam tersebut. Bahkan para peziarah yang doanya terkabul tak segan-segan menggelar acara pementasan wayangan tiap malam jumat kliwon.

Salah satu peziarah Mujiyono (40) warga Desa Pringsutan Wonorejo, Temanggung,mengakui sudah tiga tahun ini datang di acara kirap Pulung Langse. Menurut dia, kehadiranya di Sukoharjo ini di lakukan bersama-sama 20 orang desa lainya dengan cara menyewa kendaraan pribadi.

Mujiyono yang keseharianya berdagang ayam di kampung berharap dengan nasi yang didapat dari kirap hasil bumi ini nantinya akan di berikan pada ternak ayamnya di rumah dengan harapan ayamnya sehat dan banyak laku terjual. "Seperti tahun lalu setelah ayam diberikan nasi dari hasil ritual pululangse tidak pernah sakit dan banyak mendatangkan rezeki," ujarnya.

Hal sama juga dilakukan Gumawa Rati (35) warga Desa Kangrogo, Grobogan, Purwodadi, Jateng yang memperolah bunga melati saat berebut gundukan hasil bumi. "Bunga ini nantinya akan disimpan untuk keselamatan keluarga," ujarnya.

Camat Bendosari Edi Suryanto yang hadir dalam Pulung Langse mengatakan, ritual pululangse ini merupakan salah satu agenda untuk melestarikan budaya daerah. Pasalnya, arti sebuah kebudayaan memiliki manfaat sendiri bagi masyarakat setempat seperti bisa meningkatkan taraf hidup ekonomi masyarakat dan aspek lainya. (*-2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar